Tiga Nyai dari Tanah Sunda yang Buat Meneer Belanda Terpikat

Tiga Nyai dari Tanah Sunda yang Buat Meneer Belanda Terpikat

Bandung - Nyai, sebuah panggilan yang wajar dipasangkan pada orang wanita terutama yang dari tanah Sunda. Tetapi pada jaman penjajahan, pemaknaan panggilan Nyai punyai konotasi yang tidak terlampau baik.Ditunjukkan dengan keterangan panggilan Nyai di Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Nyai n 1 panggilan untuk orang wanita yang masih belum atau telah kawin; 2 panggilan untuk orang wanita yang umurnya lebih tua dibanding orang yang panggil; 3 gundik orang asing (khususnya orang Eropa)|
Lalu panggilan nyai tetapi dengan perulangan di KBBI, nyai-nyai n panggilan ke wanita simpanan orang asing.
Di buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda kreasi Reggie Bay, si penulis menjelaskan istilah Nyai yang dipakai asal dari bahasa Bali. Kata itu ada bersamaan dengan momen wanita Bali yang jadi gundik atau wanita simpanan dari beberapa orang Eropa.
Si nyai diberitakan akan ditinggal oleh orang asing demikian mereka lagi pulang. Tetapi, pada beberapa kasus ada orang asing yang betul-betul jatuh cinta sampai bawa si nyai ke tanah lahirnya.
Ada banyak nama figur wanita jaman dahulu yang dipasangkan panggilan nyai di depannya, seperti Nyai Saritem, Nyai Ameri dan di Cimahi ada Nyai Itih. Lantas bagaimana sejarah menulis cerita mereka ?
Cimahi punyai banyak sejarah berkenaan perjuangan merampas kemerdekaan. Tidak hanya cerita-kisah heroik, kota kecil yang baru berdiri pada 2001 lalu ini punyai narasi segi yang lain nampaknya menarik dibahas.

Satu diantaranya sejarah berkenaan Itih. Sebuah nama yang asing, kedengar kampungan dan tidak kekinian. Tetapi Itih menjadi saksi bisu bagaimana golongan wanita jaman dahulu sangat menanggung derita karena tindakan orang Belanda yang menginjakkan kaki di tanah Indonesia.
Itih adalah nama seorang wanita yang dijumpai adalah masyarakat Cigugur tengah, Kota Cimahi. Berdasar sumber jurnal STEKOM , dia lahir di tahun 1898 dan wafat di tahun 1969

Lalu apakah yang memikat pada figur Itih? Itih rupanya adalah seorang gundik. Mengarah pada keterangan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, gundik ialah istri tidak resmi; selir; 2 wanita peliharaan (bini gelap).
Di tahun 1919, Itih diputuskan dengan seorang pria Belanda namanya Wilem Walraven sebagai gundik. Pria kelahiran 1887 itu tiba ke Indonesia (dahulu Hindia-Belanda) secara suka-rela sesudah gabung dengan Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) dan berangkat ke Indonesia di tahun 1915.

Sekian tahun ada di Indonesia dan memainkan beragam karier, hingga kemudian dia jadi seorang pengarang dan reporter majalah Belanda. Dia memakai nama rahasia Maarten Cornelis, yang dipersingkatnya sebagai MC.

Sementara dari narasi yang dicatat oleh Arie Merek, dalam pemikiran Wilem Walraven, dia pertama kalinya menyaksikan Itih sekitaran tahun 1916.
Dia menyaksikan Itih di warung tentara pamannya di Cimahi. Gubuk bambu ini berdiri di halaman sempit tidak beraspal dari sebuah toko jompo tempat seorang Afrika tinggal dengan beberapa anak.

"Saya tiba ke situ nyaris tiap hari dan Itih nyaris ada selalu. Saya tidak bisa bicara dengannya karena saya cuma tahu sedikit bahasa Melayu serta bahasa Sunda," tulis Arie.
Dalam tulisannya yang lumayan panjang, ada satu keterangan yang cepat, mengatakan bila Walraven dan Itih pada akhirnya tinggal dengan di Banyuwangi. Di sana anak sulung mereka lahir. Waktu itu Walraven telah berumur sekitaran 30 tahunan sementara Itih berumur sekitaran 20 tahunan.

Praktisi sejarah Cimahi, Machmud Mubarok, bercerita bila Itih jadi gundik tidak terlepas dari posisi Cimahi yang pada periode penjajahan Belanda jadi pusat aktivitas militer. Faktanya masih tetap berdiri sampai tahun 2022, yaitu jumlahnya pusat pendidikan tentara, basis, sampai bangunan berarsitektur Belanda yang digunakan sebagai kantor militer.
"Jadi kebenaran dahulu itu Cimahi menjadi pusat militer. Kebenaran banyak tentara Belanda itu tidak bawa istri mereka, menjadi telah terbiasa dahulu orang pribumi termasuk Cimahi ini yang aslinya babu diambil menjadi gundik atau nyai-nyai," tutur Machmud ke detikJabar, Sabtu (19/11/2022).

Waktu itu Itih adalah seorang wanita dari Cigugur tengah, Cimahi, yang berjumpa dengan Walraven. Dari tatap muka itu tumbuh benih-benih cinta dari si meneer. Walraven tidak ingin kehilangan momen, hingga kemudian dia putuskan jadikan Itih sebagai gundiknya.

"Pada akhirnya Itih menjadi gundik, dengan penyematan nyai atau nyi di depannya. Walau sebenarnya dahulu pemikiran orang Belanda sebenarnya nista karena mempunyai gundik, dengan argumen tidak sederajat atau argumen yang lain. Tetapi Wilem ini tidak perduli, karena sangat cintanya selanjutnya Itih dibawa ke Belanda. Jika tidak salah semacam itu," tutur Machmud.
Walau sebenarnya wajarnya, gundik meneer Belanda akan ditinggal termasuk tidak punyai hak untuk mengasuh anak yang dilahirkan. Tetapi berlainan sama yang dirasakan Itih, karena dia dibawa oleh Walraven ke tanah lahirnya dan beberapa anak yang dilahirkan Itih.

"Jadi beberapa anak itu tidak dianggap, terkecuali atas kesepakatan pengadilan dan sang ibunya itu tidak mempunyai hak pengasuhan . Maka banyak peristiwa, nyai-nyai itu cuma untuk mengurusi rumah, hamil, melahirkan, lalu ditinggalkan. Nach anaknya dibawa bapaknya ke Belanda," kata Machmud.
"Jika Nyi Itih ini cukup unik. Karena suaminya (Walraven) cinta sekali dengannya, ya pada akhirnya Nyi Itih selanjutnya dibawa ke Belanda," paparnya.

Sayang, kata Machmud, dia tidak punyai rekomendasi semakin banyak berkenaan garis turunan Itih dan tapak jejak sejarah Itih yang masih tetap ketinggalan di Cimahi.|

"Sepengetahuan saya sampai saat ini tidak ada tapak jejak Nyi Itih di Cigugur tengah, garis turunannya siapa tidak tahu. Ya itu lah, karena anak pribumi dari Wilem kan tidak ada. Lantas apa ia (Nyi Itih) punyai saudara atau mungkin tidak kan kita tidak tahu sebenarnya," sebut Machmud.
Nama Saritem demikian menempel di Kota Bandung. Saritem ialah sebuah nama teritori yang ada di Kecamatan Andir, Kota Bandung. Dahulunya teritori ini adalah tempat lokalisasi yang sudah ditutup oleh Pemerintah kota Bandung pada 2007 lalu.
Saritem beritanya sudah ada semenjak tahun 1838 di mana waktu itu Bandung baru berumur 28 tahun. Hal tersebut diutarakan Ariyono Wahyu Widjajadi, praktisi Komune Aleut Bandung yang mencuplik buku dengan judul Saritem Uncensored kreasi Wakhudin.



"Itu tuch sebetulnya sejarahnya tidak ada, bukti yang sebetulnya cuma sangkaan saja. Saya ngutip satu buku, judulnya Saritem Uncensored. Ia ngomong sejarahnya belumlah jelas ," kata pria yang dekat dipanggil Alex ini.

"Tetapi ada sumber dalam buku itu, Saritem awal tahun 1838, bermakna kan Bandung baru umurnya semenjak dipindah berdasar surat perintah Gubernur Deandels 1810, bermakna baru 28 tahun," katanya.

Menurut Alex, Saritem lahir dari peristiwa namanya gundik. Gundik adalah panggilan untuk kegiatan di mana wanita dan tentara Belanda hidup bersama tanpa ikatan perkawinan.

Tetapi ada satu figur wanita yang selanjutnya sering disangkutkan bekas lokalisasi tersebut. Wanita itu yaitu Nyai Sari Iteung atau dikenali Nyai Saritem.

Dari info dalam buku Saritem Uncensored, Alex mengutarakan Saritem adalah figur gadis belia yang bila disaksikan dari watak namanya, kemungkinan asal dari Jawa tengah atau Yogyakarta.

Saritem dilukiskan mempunyai wajah elok dan memesona. Figur Saritem tersebut yang selanjutnya menarik hari tentara Belanda sampai Saritem jadi gundik waktu itu.
Semenjak waktu itu, Saritem selanjutnya disuruh oleh tentara Belanda yang lain untuk cari wanita lain. Bukan hanya dari Bandung, wanita sebagai gundik militer Belanda asal dari wilayah lain seperti Sumedang dan Indramayu.

"Jadi Nyai di tangsi militer ini selanjutnya disuruh carikan wanita, ceritanya demikian pada akhirnya bersedia Nyai ini carikan wanita untuk personil militer di Gardu Jati ini. Pada akhirnya dicari dari beragam wilayah seperti Sumedang dan Indramayu," bebernya.

Makin lama, wanita yang dihimpun Saritem semakin bertambah banyak. Peristiwa gundik juga berubah ke lokalisasi. Karena di teritori itu, masyarakat selanjutnya jalani usaha yang masih sama yaitu sediakan jasa wanita untuk kencan.



"Selanjutnya ucapnya di pangsi jni difasilitaskan rumah besar untuk aktivitas ini dan beberapa orang tiba untuk cari wanita. Ini berjalan lama dan pada akhirnya warga sekitaran meng ikuti dengan buka usaha yang sama," tutur Alex.

Versus berlainan dikatakan oleh Budayawan Bandung, Budi Dalton. Dia menyebutkan sebetulnya Nyai Saritem mempunyai nama asli Nyi Mas Ayu Permatasari. Kesan-kesan masalah Nyai Saritem, tutur Budi, jauh dari penglihatan negatif public, malah Saritem berusaha selamatkan wanita tuna bersusila itu dari cengkraman mucikari.

Dia menyebutkan, Nyi Mas Ayu Permatasari adalah istri dari Belanda dan ada di wilayah Kebon Tangkil Bandung, wilayah sekitaran bekas lokalisasi Saritem sekarang ini. Budi menyebutkan, Nyai Saritem adalah wanita yang terhormat.

"Pelacur dari tahun 30-an sukai ada di sana, pelacur itu turut kerja di ibu tersebut. Tetapi pelacur itu saat nyuci sukai sharing, 'saya tuch sebenarnya tidak ingin bekerja di sini, tetapi sang germo itu ngomong ke ibu saya kerja di mana, tahunya di mana," papar Budi dalam THE SOLEH SOLIHUN INTERVIEW: BUDI DALTON yang tampil di Youtube 13 Januari 2020.

Nyi Mas Ayu Permatasari, papar Budi, selanjutnya bertanya ke pada kupu-kupu malam itu, apa ingin stop bekerja sebagai pelacur. Sudah pasti, mereka berkemauan untuk stop dari dunia gelap itu.

"Jadi sang ibu (Nyi Mas Ayu Permatasari) ini sama kaya orangtua jaman dahulu, sukai ngajampean (jampi-jampi), menjadi dijampean, dipanjatkan doa hingga cewek-cewek itu tidak laris, hingga dipulangkan oleh sang germo, nach ibu itu yang menyukai murulukan teh (mantra)," kata Budi.

Sebagai bentuk penghargaan, kata Budi, nama Saritem juga didokumentasikan berbentuk jalan. Jalan Saritem dapat dijangkau lewat Jl Gardujati dari arah Pasirkaliki, atau melalui Jalan Kelenteng jika ke arah dari Jalan Sudirman atau Alun-alun Kota Bandung.

"Hingga namanya jadi nama jalan karena beliau itu banyak jasanya, kan mustahil nama cewek tidak benar jadi nama jalan, jadi nama jalan pasti juga karena ia aktor sejarah begitu atau pejuang, tetapi ini riset belum usai," tutur Budi.

Dia menjelaskan, periset Nyai Saritem temukan beberapa anak dari Nyi Mas Ayu Permatasari di Belanda. Sekarang ini, keadaan ke-2 anaknya disebutkan Budi sudah lanjut usia.

"Diketemukan tetapi telah tua-tua, hingga saat ini masih coba kita contact, agar dapat menjelaskan siapa ia, siapa itulah, jasanya itu betul, karena ini telah riset lama, yang masih belum itu mengenai pengkajian beliau mengenai beberapa hal yang tidak dikenali semenjak mereka berpindah ke Belanda," ucapnya.

Budi menjelaskan, Saritem terlahir di Parakanmuncang Sumedang 1840 dan wafat di Bandung 1920. Budi juga yakini jika photo wanita ayu berkebaya yang tersebar pada internet ialah betul Nyai Saritem atau Nyi Mas Ayu Permatasari.

"Ada banyak photo, dan periset yakini jika photo itu adalah Nyai Saritem," ucapnya. Sekarang ini lokalisasi Saritem sudah ditutup semenjak 18 April 2007 kemarin. Di situ juga berdiri pesantren Darruttaubah sebagai warna baru di Kebon Tangkil bekas lokalisasi Saritem.

Betulkah Itu Figur Nyai Saritem ?

Masalah foto muka Nyi Mas Ayu Permatasari atau Nyai Saritem yang tersebar pada internet itu sebetulnya masih disangsikan. detikJabar juga lakukan pencarian digital berkaitan photo itu pada internet dengan sistem reverse gambar, sesudah dicari dan diurutkan sama sesuai tanggal, photo itu pertama kalinya ada di website Warung Barang Unik (https://kedaibarangantik.blogspot.com) pada 11 Januari 2011.

Photo itu dikasih judul Foto Nyonya Djawa, si pemilik website memberi deskripsi singkat mengenai photo itu.

"Ini photo classic. Asli orang Indonesia. Tidak sekadar pajangan, photo unik ini simpan banyak narasi mengenai budaya dan rutinitas tradisi Jawa. Sebuah gaya berani untuk wanita Jawa tradisionil. Ayu tenan !!," tulis admin Warung Barang Unik.


Sesudah dijelajahi, ternyata website itu dipunyai oleh kolektor benda unik asal Ungaran, Semarang. Si kolektor itu bercerita pertama kali penemuan photo waktu memboyong barang sisa dalam suatu rumah bekas petinggi penjajahan tempo dahulu di Yogyakarta.

Ronny, kolektor itu dekat dipanggil, temukan photo yang disebut sebagai Nyai Saritem 11 tahun lalu, walaupun begitu dia tidak ketahui siapa figur wanita itu selainnya wajahnya yang elok. Photo cetakan lama itu memiliki ukuran post card atau mempunyai dimensi lebih kurang 13,5 cm x 8,5 cm.

"Saat itu kita hunting di Yogyakarta seperti di rumah tangga begitu, jika tidak salah yang mempunyai rumah itu pensiunan militer atau kejaksaan, terus pensiunan itu jual perabotnya karena mereka ingin pindahan beberapa anaknya," tutur Ronny ke detikJabar, 18 September 2022.

"Saya boyong perlengkapannya beberapa kursi Belanda, ada banyak lukisan, lukisan wanita Jawa , terus sama batik tulis, dan di situ ada banyak photo yang dipampang, termasuk photo ini (yang disebutkan Nyai Saritem)," ucapnya menambah.

Ronny sendiri tidak ketahui foto wanita itu sebetulnya, karena faksi yang dipercayai untuk mengurusi rumah bekas petinggi itu pun tidak ketahui figur wanita Jawa tersebut. Tapi, jika disaksikan dari baju dan aksesori yang digunakan wanita cukup terang jika wanita itu bukan asal dari kelas proletar.

"Jika disaksikan dari kelengkapan aksesori perhiasan yang dikenai (kalung, giwang dan bross) kelihatannya kok latar belakang priyayi Jawa," papar Ronny.

Frame kayu foto wanita Jawa itu, kata Ronny, telah rusak karena gigitan tikus pertama kalinya dia dapatkan. Tetapi lembar photo didalamnya bisa dia menyelamatkan. Lalu, dia memberi frame baru pada foto itu dan sekarang disimpan di galeri barang uniknya di Ungaran, Semarang.

"Saya saksikan itu cetakan lama, merek Agfa Foto itu yang dahulu terkenal saat sebelum Jepang kesini tahun 60-an," ucapnya.

Di tahun yang masih sama, Ronny mengupload photo itu pada internet, persisnya pada website Warung Barang Unik Dia juga ikut memberi komentar content pada internet yang sering menghubung-hubungkan figur wanita itu dengan Nyai Saritem.

"Selama ini saya belum mempunyai data berkaitan figur itu, saya tidak berani menyebutkan wanita itu," katanya.

Disaksikan detikJabar, photo itu adalah cetakan photo autentik karena ada di belakang photo ada watermark dari produsen pembuat photo Agfa. "Selanjutnya saya post, saat ini barangnya masih tetap ada di galeri saya," ucapnya.

Kecantikan gadis Priangan memang populer bahkan juga semenjak beratus-ratus tahun lalu dan banyak ceritanya yang selanjutnya terpatri sampai sekarang. Cukup banyak gadis-gadis Sunda yang membuat jatuh cinta pria asing sampai mereka ikhlas tinggalkan negara aslinya.

Cerita itu ada dalam babad sejarah semenjak zaman penjajahan dahulu, satu diantaranya dari Sukabumi, cerita mengenai Ameri gadis Sunda yang membuat Meneer atau tuan dari Belanda jatuh cinta 1/2 mati dan menyunting gadis itu sampai akhir hayatnya.

"Ameri ialah puteri seorang tukang rebab dari Parakansalak yang dinikahi oleh tuannya dan jadi istri sah. Si Meneer atau tuan yang terpikat pada Ameri namanya Willem Theodore Boreel, pria keturununan Belanda yang terlahir di Sukabumi pada 1865," kata Irman Firmansyah, penulis buku Soekaboemi The Untold Story, ke detikJabar, Senin (21/11/2022). Irman menyebutkan pada narasi lain, Boreel dikisahkan terlahir di Payakumbuh.

Diceritakan, Boorel ialah administrator Parakansalak yang terpikat oleh Ameri yang fisik buta samping. Selain kecantikannya, karena ketangakasannya naik kuda dan sikap sopan dan layani.

"Walaupun ada kekurangan fisik, si Meneer itu tertarik dengan sikap Ameri. Orangtua Ameri sendiri ialah pemain rebab salah satunya alat yang diikutkan dalam pameran bersama gamelan Sari Oneng di Amerika Serikat," tutur Irman.
Irman menceritakan, Ameri yang disebut nama semenjak lahir mempunyai nama alias yaitu Iyi Endah walaupun nama Ameri selanjutnya berbeda karena pengejaan saat kecil karena rasa gaungs jadi Iyi, hingga pada akhirannya nama yang dipakainya jadi Iyi Endah.

"Saat lahir Ameri mempunyai sepasang mata yang normal, tetapi di suatu saat samping matanya berasa gatal dan terus berair berair, semakin lama matanya sakit dan mendadak kehilangan pandangan samping. Walau matanya tidak prima dia masih tetap bermain seperti umumnya, ia kerap turut latihan gamelan bahkan juga kerap turut dalam aktivitas ekstrim bersama ayahnya yakni memburu Banteng," papar Irman.

Cerita pemburuan berikut yang selanjutnya melatari tatap muka di antara Ameri dan Boreel. Boreel sendiri dikenali karena jago memburu. Sesuatu saat dia memodali aktivitas memburu, Boreel dan dua temannya sama-sama Belanda dikenali panggilan Trio De Jager atau tiga pemburu.

"Salah satunya peserta dan pendana aktivitas memburu ialah administratur Parakansalak yakni W Th. Boreel, ia memang dikenali jago memburu di Priangan bersama partnernya Kerkhoven dan Baron Van Heeckeren dari Sinagar, mereka dikenali sebagai Trio De Jager," ungkapkan Irman.

"Sebagian besar penjuru priangan bahkan juga sampai ke Sumatera sebelumnya pernah mereka kunjungi. Boreel sempat temani pangeran Austria Prins Ferdinand waktu memburu ke wilayah Cianjur selatan di tanggal 17 April 1893. Mereka memburu banteng di wilayah Tangeung, Sindangbarang, Cipandak dalam cuaca hujan. Ia menolong E.J Kerkhoven saat membuat tempat memburu Venatoria di daerah Cikepuh pada 30 Desember 1900," tambahnya.

Karena sangat gaungrnya memburu, Boorel bahkan juga sewa lokasi pemburuan selebar 7 ribu hektar sepanjang 29 tahun. Sampai sesuatu saat, benih cinta tumbuh di hati si meneer karena biasanya berjumpa dengan Ameri.

"Benih cinta mereka bermula karena kerap berjumpa waktu memburu ke daerah selatan Sukabumi. Ameri atau Iyi yang sering turut dalam pemburuan ternyata mulai memikat hati si tuan, gadis yang beranjak dewasa dengan kulit kuning langsat dan bentuk langsing itu sering jadi peserta yang dinanti Boreel untuk datang," ungkapkan Irman menceritakan.

Cinta pada penglihatan pertama membuat dada si Meneer tergetar, ibaratnya tatap muka pertama ialah awalnya dari segala hal, bayangan akan Ameri demikian kuat penuhi pemikiran Boreel, putri tukang rebab itu sudah menarik hati si tuan.

"Walau umur Boreel waktu itu tidak muda (50 tahun lebih), tetapi karena rutinitas fisiknya di perkebunan masih memberikan keperkasaan dan keperkasaannya khususnya saat menunggang kudanya yang namanya Rubinia. Sementara waktu itu umur Ameri belum genap 17 tahun cukup dewasa untuk mengenal hatinya," kata Irman.

"Tetapi ingat kelas sosialnya berlainan ditambahkan lagi secara fisik tidak prima, karena itu Ameri tak pernah pikirkan hati tersebut. Waktu itu banyak pria Belanda yang menyenangi Ameri, tetapi karena isu mengenai Administratur sebagai kepala perkebunan menyenangi Iyi karena itu banyak yang undur. Iyi sendiri mengetahui jika jalinan dengan tuannya bukan hal yang umum," ikat Irman menceritakan.

Di kehidupan saat penjajahan itu kelas warga memang diperbedakan di antara Eropa dan Pribumi, ke-2 kelas terebut tidak dianggap dengan sah bila menikah.

Singkat kata, sesudah tempuh jalan yang curam pada akhirnya Ameri alias Iyi Endah dinikahi si meneer sekitaran tahun 1910 dalam umur 17 tahun dan ditaruh dalam suatu rumah tidak jauh dari gedung Patamon.

"Mereka melalui hari dalam ketidaksamaan dengan berbahagia, kekurangan Ameri tidak pernah menurunkan cinta Boreel, bahkan juga keunggulannya saat layani dan berbakti pada suami sudah tutup pintu hati Boreel ke wanita yang lain. Boreel tidak pernah kembali cari cinta lainnya, tertutup telah pintu hatinya, di hatinya cuma ada satu wanita: Iyi Endah alias Ameri," ujarnya.

sumber detik jabar


Share on Google Plus

About Teddy van buuren

0 comments:

Post a Comment